Wednesday, October 12, 2011

Kota Manado






Manado terletak pada suatu daerah yang oleh penduduk asli Minahasa disebut “Wanua Wenang”. Wanua Wenang telah ada sekitar abad XII dan didirikan oleh Ruru Ares yang bergelar Dotu Lolong Lasut bersama keturunannya. Pada abad ke 17 (1623) mulailah nama Manado digunakan untuk mengganti nama “WENANG”. Kota Manado berasal dari kata daerah Minahasa asli “Manarou” atau “Manadou”, yang jika kata-kata itu diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sekarang ini mempunyai arti “di jauh” (dimana: jauh-rou atau dou) dan menunjuk tempat sebagai bandar dan pelabuhan tukar menukar barang, benteng loji dan lain-lain. Selanjutnya menurut riwayat perkembangan sejarah Indonesia khususnya di Manado ini, maka Kota Manado telah dikenal bahkan didatangi oleh orang-orang luar negeri sejak abad ke 16, namun abad yang lebih memilik kesan-kesan historis dalam dokumen-dokumen Negara adalah abad adalah abad ke 17 yaitu pada tahun 1623. Pada tahun tersebut tanah Minahasa-Manado sudah lebih dikenal dan popular diantara orang-orang barat (Eropa), dengan hasil-hasil buminya. Kota Manado atau Manarou/Manadou oleh masyarakat dimaksud sesuatu tempat yang jauh, sebab menurut sejarah Minahasa bahwa pusat Pemerintahan pertama bukan berada di dataran Minahasa tetapi berada di Pulau Manado Tua sekarang (sekarang kerajaan Babontehu). Manado dikenal sebagai kota jauh disekitar tahun 1623 dimana bangsa Spanyol mendirikan benteng di daratan Minahasa khususnya Wanua Wenang. Pada sekitar tahun tersebut, terjadi wabah penyakit di Pulau Manado Tua sehingga benteng dialihkan ke daratan Minahasa. Perkembangan selanjutnya oleh pemerintahan Belanda melalui VOC-nya pada tahun 1657 mendirikan benteng yang dinamai De Nederlandsche Vatigkoid atas perintah Gubernur Simon Cos. Di dalam benteng terdapat Loji untuk perkantoran VOC (pusat pertokoan Pasar 45). Kemudian dengan beslit Gubernur Jenderal Hindia Belanda maka terhitung mulai tanggal 1 Juli 1919, gewest Manado ditetapkan sebagai Staats Gemeente yang kemudian dilengkapi dengan alat-alatnya ialah Dewan Gemeente atau Gemeente Raad yang dikepalai atau diketuai oleh Walikota (Burgemeester). Tahun 1951 : Gemeente Manado dijadikan daerah bagian Kota Manado dari Minahasa sesuai Keputusan Gubernur Sulawesi Nomor/tanggal 3 Mei 1951 No.223 Tanggal 7 April 1951 terbentuklah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) periode 1951-1953 sesuai Keputusan Gubernur Sulawesi No. 14. Tahun 1953 : Daerah Bagian Kota Manado diubah statusnya menjadi daerah Kota Manado, sesuai peraturan Pemerintah Nomor 42/1953 Peraturan Pemerintah Nomor 15/1954. Tahun 1954 : Manado menjadi daerah otonom yang berhak mengatur rumah tangganya sendiri, sesuai PP No. 45 tahun 1953 PP Nomor 56 tahun 1954. Tahun 1957 : Manado menjadi Kotapraja, sesuai Undang-Undang No. 1 Tahun 1957. Tanggal 17 Oktober 1958 : Praja Manado. Tahun 1959 : Kotapraja Manado ditetapkan kedudukannya sebagai Daerah Tingkat II Manado, sesuai Undang-Undang No. 29 tahun 1959. Tahun 1965 : Kotapraja Manado disempurnakan menjadi Kotamadya Manado, dipimpin oleh Walikota Kepala Daerah Tingkat II sesuai Undang-Undang No. 18 Tahun 1965 dan disempurnakan lagi menjadi Walikotamadya Daerah Tingkat II, sesuai dengan Undang-Undang No. 5 Tahun1974 tentang pokok-pokok Pemerintahan di daerah. Tahun 1999 : Kotamadya Manado diubah menjadi Kota Manado, sesuai dengan UU No. 22 tentang Pemerintahan Daerah. Dengan keputusan DPRD-GR Kotamadya Manado No. 17/DPRD-GR/68 tanggal 12 September 1968, hari lahir kota Manado ditetapkan tanggal 14 Juli 1623, dengan penjelasan secara fiksasi bahwa : tanggal 14, diambil dari tanggal 14 Pebruari 1946, suatu peristiwa heroik di kota ini yang kemudian terkenal sebagai Peristia Merah Merah Putih. Pada waktu itu bukan hanya putera-putera daerah bangkit menentang penjajahan kolonial belanda tetapi juga untuk pertama kalinya nama Manado disebut-sebut dan digunakan dalam surat resmi. Bulan Juli diambil dari bulan resminya Manado sebagai Gemeente dan tahun 1623 diambil dari tahun dimana telah ada pemerintah yang teratur dengan dibangunnya benteng oleh Spanyol atas perintah Gubernur Spanyol di Manila. Oleh karena penjabaran dari ketiga peristiwa penting tersebut maka pada tanggal 14 Juli 2004 Kota Manado merayakan HUTnya yang ke 381 Penduduk Suku Bangsa Saat ini mayoritas penduduk kota Manado berasal dari suku Minahasa, karena wilayah Manado merupakan berada di tanah/daerah Minahasa. Penduduk asli Manado adalah suku Bantik, suku bangsa lainnya yang ada di Manado saat ini yaitu suku Sangir, suku Gorontalo, suku Mongondow, suku Arab, suku Babontehu, suku Talaud, suku Tionghoa, suku Siau dan kaum Borgo. Karena banyaknya komunitas peranakan arab, maka keberadaan Kampung Arab yang berada dalam radius dekat Pasar '45 masih bertahan sampai sekarang dan menjadi salah satu tujuan wisata agama. Selain itu terdapat pula penduduk suku Jawa, suku Batak, suku Makassar dan suku bangsa lainnya. Agama Gereja GMIM Sentrum Manado Agama yang dianut adalah Kristen Protestan, Islam, Katolik, Hindu, Buddha dan agama Konghucu. Berdasarkan sensus penduduk tahun 1999, jumlah Muslim di Manado mencapai 49 persen, sedangkan Kristen 51 persen. Namun data tahun 2003 menunjukkan persentase jumlah pemeluk Islam dan Kristen sama, yakni 50:50.[3] Meski begitu heteroginnya, namun masyarakat Manado sangat menghargai sikap hidup toleran, rukun, terbuka dan dinamis. Karenanya kota Manado memiliki lingkungan sosial yang relatif kondusif dan dikenal sebagai salah satu kota yang relatif aman di Indonesia. Sewaktu Indonesia sedang rawan-rawannya dikarenakan goncangan politik sekitar tahun 1999 dan berbagai kerusuhan melanda kota-kota di Indonesia. Kota Manado dapat dikatakan relatif aman. Hal itu tercermin dari semboyan masyarakat Manado yaitu Torang samua basudara yang artinya "Kita semua bersaudara". Bahasa Bahasa digunakan sebagai bahasa sehari-hari di Manado dan wilayah sekitarnya disebut bahasa Melayu Manado (Bahasa Manado). Bahasa Manado menyerupai bahasa Indonesia tetapi dengan logat yang khas. Beberapa kata dalam dialek Manado berasal dari bahasa Belanda, bahasa Portugis dan bahasa asing lainnya. Budaya dan Gaya Hidup Musik tradisional dari Kota Manado dan sekitarnya dikenal dengan nama musik Kolintang. Alat musik Kolintang dibuat dari sejumlah kayu yang berbeda-beda panjangnya sehingga menghasilkan nada-nada yang berbeda. Biasanya untuk memainkan sebuah lagu dibutuhkan sejumlah alat musik kolintang untuk menghasilkan kombinasi suara yang bagus. Secara umum kehidupan di Kota Manado sama dengan kota-kota besar lainnya di Indonesia. Pusat kota terdapat di Jalan Sam Ratulangi yang banyak dibangun pusat-pusat pembelanjaan yang terletak di sepanjang jalur utara-selatan yang juga dikenal dengan tempat yang memiliki restoran-restoran terkenal di Manado. Akhir-akhir ini Manado terkenal dengan makin menjamurnya mal-mal dan restoran-restoran yang dibangun di sepanjang pantai yang memanfaatkan pemandangannya yang indah di saat menjelangnya matahari terbenam. Kawanua Masyarakat Manado juga disebut dengan istilah "warga Kawanua". Walaupun secara khusus Kawanua diartikan kepada suku Minahasa, tetapi secara umum penduduk Manado dapat disebut juga sebagai warga Kawanua. Dalam bahasa daerah Minahasa, "Kawanua" sering diartikan sebagai penduduk negeri atau "wanua-wanua" yang bersatu atau "Mina-Esa" (Orang Minahasa). Kata "Kawanua" diyakini berasal dari kata "Wanua". Kata "Wanua" dalam bahasa Melayu Tua (Proto Melayu), diartikan sebagai wilayah pemukiman. Sementara dalam bahasa Minahasa, kata "Wanua" diartikan sebagai negeri atau desa.

Sunday, February 27, 2011

Sejarah Kota Ambon


Pada tahun 1575, saat dibangunnya Benteng Portugis di Pantai Honipopu, yang disebut Benteng Kota Laha atau Ferangi, kelompok-kelompok masyarakat kemudian mendiami sekitar benteng. Kelompok-kelompok masyarakat tersebut kemudian dikenal dengan nama soa Ema, Soa Kilang, Soa Silale, Hative, Urimessing dan sebagainya. Kelompok-kelompok masyarakat inilah yang menjadi cikal bakal terbentuknya Kota Ambon. Dalam perkembangannya, kelompok-kelompok masyarakat tersebut telah berkembang menjadi masyarakat Ginekologis territorial yang teratur. Karena itu, tahun 1575 dikenal sebagai tahun lahirnya Kota Ambon. Pada tanggal 7 September 1921, masyarakat Kota Ambon diberi hak yang sama dengan Pemerintah Colonial, sebagai manifestasi hasil perjuangan Rakyat Indonesia asal Maluku. Momentum ini merupakan salah satu momentum kekalahan politis dari Bangsa Penjajah dan merupakan awal mulanya warga Kota Ambon memainkan peranannya di dalam Pemerintahan seirama dengan politik penjajah pada masa itu, serta menjadi modal bagi Rakyat Kota Ambon dalam menentukan masa depannya. Karena itu, tanggal 7 September ditetapkan sebagai tanggal kelahiran Kota Ambon.

Sejarah Penentuan Lahirnya Kota Ambon

Hari lahir atau hari jadi kota Ambon telah diputuskan jatuh pada tanggal 7 September 1575 dalam suatu seminar di Kota Ambon. Bagaimana penentuan hari jadi kota kita yang telah berumur ratusan tahun itu, sejarahnya dapat dijelaskan sebagai berikut : Bahwa yang mengambil inisiatif atau gagasan untuk mencari dan menentukan hari jadi atau hari lahir Kota Ambon adalah Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II Ambon Almarhum Letnan Kolonel Laut Matheos H. Manuputty (Walikota yang ke- 9).

Untuk itu dikeluarkannya Surat Keputusan Walikotamadya Kepala Daerah tingkat II Ambon tertanggal 10 Juli 1972 nomor 25/KPTS/1972 yang diubah pada tanggal 16 Agustus 1972, yang isinya mengenai pembentukan Panitia Khusus Sejarah Kota Ambon dengan tugas untuk menggali dan menentukan hari lahir kota Ambon. Kemudian dengan suratnya tertanggal 24 Oktober 1972 nomor PK. I/4168 selaku Panitia Khusus Sejarah Kota Ambon menyerahkan tugasnya itu kepada Fakultas Keguruan Universitas Pattimura untuk menyelenggarakan suatu seminar ilmiah dalam rangka penentuan hari lahir Kota Ambon.

Selanjutnya pada tanggal 26 Oktober 1972 Pimpinan Fakultas Keguruan mengadakan rapat dengan pimpinan Jurusan Sejarah dan hasilnya adalah diterbitkannya Surat Keputusan Dekan Fakultas Keguruan Universitas pattimura tertanggal 1 Nopember 1972 nomor 4/1972 tentang pembentukan Panitia Seminar Sejarah Kota Ambon. Seminar sejarah ini berlangsung dari tanggal 14 sampai dengan 17 Nopember 1972, dihadiri oleh kurang lebih dua ratus orang yang terdiri dari unsur-unsur akademis, Tokoh Masyarakat dan Tokoh adat serta aparat Pemerintah Kodya Ambon maupun Provinsi Maluku.

Susunan Panitia seminar dicatat sebagai berikut ;

Ketua

Drs. John Sitanala (Dekan Fakultas Keguruan)

Wakil Ketua

Drs. John A. Pattikayhatu (Ketua jurusan Sejarah)

Sekretaris

Drs. Z. J. Latupapua (Sekretaris Fakultas Keguruan)

Seksi Persidangan yang terdiri dari tiga kelompok

* Kelompok I diketuai Thos Siahay, BA.
* Kelompok II diketuai Yoop Lasamahu, BA
* Kelompok III diketuai Ismail Risahandua, BA

Panitia Pengarah/Teknis Ilmiah diketuai oleh Drs. J.A. Pattikayhatu,

1. Drs. Tommy Uneputty
2. Drs. Mus Huliselan
3. Drs. John Tamaela
4. Dra. J. Latuconsina
5. Sam Patty, BA
6. I. A. Diaz

Pemakalah terdiri dari 7 orang, 3 dari Pusat dan 4 dari daerah

1. Drs. Moh. Ali (Kepala Arsip Nasional)
2. Drs. Z. J. Manusama (Pakar Sejarah Maluku)
3. Drs. I. O. Nanulaita (IKIP Bandung)
4. Drs. J. A. Pattikayhatu (Fakultas Keguruan Universitas Pattimura)
5. Drs. T. J. A. Uneputty (Fakultas Keguruan Universitas Pattimura)
6. Drs. Y. Tamaela (Fakultas Keguruan Universitas Pattimura)
7. Dra. J. Latuconsina (Fakultas Keguruan Universitas Pattimura)

Seminar berlangsung dari tanggal 14 sampai 17 Nopember 1972 itu akhirnya menetapkan hari lahir kota Ambon pada tanggal 7 September 1575. Bahwa tahun 1575 diambil sebagai patokan pendirian kota Ambon ialah berdasarkan fakta-fakta sejarah yang dianalisa dimana sekitar tahun tersebut sudah dimulai pembangunan benteng “Kota Laha” didataran Honipopu dengan mengerahkan penduduk di sekitarnya oleh penguasa Portugis seperti penduduk negeri / desa Kilang, Ema, Soya, Hutumuri, Halong, Hative, Seilale, Urimessing, Batu Merah dll. Benteng Portugis yang dibangun diberi nama “Nossa Senhora de Anuneiada”. Dalam perkembangannya kelompok pekerja benteng mendirikan perkampungan yang disebut “Soa” Kelompok masyarakat inilah yang menjadi dasar dari pembentukan kota Ambon kemudian (Citade Amboina) karena di dalam perkembangan selanjutnya masyarakat tersebut sudah menjadi masyarakat geneologis teritorial yang teratur.

Pemukiman dan aktifitas masyarakat disekitar Benteng makin meluas dengan kedatangan migrasi dari utara terutama dari Ternate, baik orang-orang Portugis maupun para pedagang Nusantara sebagai akibat dari pengungsian orang-orang portugis dari kerajaan Ternate yang dipimpin oleh Sultan Baabullah. Peristiwa kekalahan Portugis tersebut membawa suatu konsekuensi logis dimana masyarakat di sekitar Benteng Kota Laha itu makin bertambah banyak dengan tempat tinggal yang sudah relatif luas sehingga persyaratan untuk berkembang menuju kepada sebuat kota lebih dipenuhi.

Selanjutnya tentang penetapan tanggal 07 September didasarkan pada peninjauan fakta sejarah bahwa pada tanggal 07 September 1921 , masyarakat kota Ambon diberikan hak yang sama dengan Pemerintah Kolonial Belanda sebagai hasil manifestasi perjuangan Rakyat Indonesia asal Maluku di bahwa pimpinan Alexander Yacob Patty untuk menentukan jalannya Pemerintahan Kota melalui wakil-wakil dalam Gemeeteraad (Dewan Kota) berdasarkan keputusan Gubernur Jenderal tanggal 07 September 1921 nomor 07 (Staatblad 92 Nomor 524). Ditinjau dari segi politik nasional, momentum ini merupakan saat penentuan dari Pemerintahan Kolonial Belanda atas segala perjuangan rakyat Indonesia di Kota Ambon yang sekaligus merupakan suatu momentum kekalahan politis dari bangsa penjajah. Ditinjau dari segi yuridis formal, tanggal 07 September merupakan hari mulainya kota memainkan peranannya di dalam pemerintahan seirama dengan politik penjajah dewasa itu. Momentum inilah yang menjadi wadah bagi rakyat Kota Ambon di dalam menentukan masa depan. Dilain pihak, kota Ambon sebagai daerah Otonom dewasa ini tidak dapat dilepaspisahkan daripada langka momentum sejarah.

Setelah Seminar Sejarah Kota Ambon yang berlansung tanggal 14 sampai 17 Nopember 1972 berhasil menetapkan tanggal 7 September 1575 sebagai Hari lahir Kota Ambon, maka untuk pertama kalinya pada tanggal 7 September 1973 Hari lahir Kota Ambon diperingati. Dan itu berarti sampai dengan saat ini (2003) Kota Ambon telah mencapai usia 427 tahun.

Monday, January 17, 2011

The cultural of Singapore /Tamil festive

http://www.channelnewsasia.com/stories/singaporelocalnews/view/1105075/1/.html.'> http://www.channelnewsasia.com/stories/singaporelocalnews/view/1105075/1/.html.
Published with Blogger-droid v1.6.5