Sunday, September 29, 2013

Pusara Tua Di Pusara Lhee Sagoe

Pusara Tua Di Pusara Lhee Sagoe

 Tiga benteng bersejarah  di Aceh Besar —Indra Purwa (Peukan Bada), Indra Patra (Krueng Raya), dan Indra Puri (Indra Puri)— menjadi teka-teki. Tidak ada catatan kuat tentang itu, walau ketiga benteng bermula dari sejarah sebelum Islam masuk ke Aceh.

Sejarah Hindu dan Budha sangat kuat mempengaruhi perjalanan sejarah di  Aceh secara umum. Keberadaan Banda Aceh sebagai pusat kerajaan Aceh Darussalam masa lalu pun tidak bisa dipungkiri sebagai kerajaan yang dibangun diatas puing-puing kerajaan Hindu dan Budha, yakni kerajaan Indra Purba, Kerajaan Indra Purwa, Kerajaan Indra Patra, dan kerajaan Indra Pura. Hal itu diyakini dari bukti sejarah batu nisan di Kampung Pande—dan salah satu batu nisannya terdapat nama Sultan Firmansyah—cucu dari Sultan Johansyah.

Sejarah diatas sekaligus mengklaim Banda Aceh sebagai pusat kerajaan Aceh Darussalam (didirikan hari jumat 1 Ramadhan 601 H (22 April 1205 M)) yang dibangun Sultan Johansyah setelah berhasil menaklukan Kerajaan Hindu Budha Indra Purba yang beribukota Bandar Lamuri. Kota Lamuri ini adalah Lam Urik yang sekarang berada di Aceh Besar. Menurut Dr. N.A. Baloch dan Dr. Lance Castle, Lamuri adalah Lamreh di Pelabuhan Malahayati (Krueng Raya sekarang). Istananya berada di tepi Kuala Naga (Krueng Aceh ) di Kampung Pande (Kandang Aceh). Ketika cucu Sultan Alaidin Mahmud Syah memerintah, ada dibangun istana di seberang Kuala Naga (Krueng Aceh) bernama Kuta Dalam Darud Dunia (Meligoe Aceh atau Pendopo Gubernur sekarang), kemudian mendirikan Mesjid Djami Baiturrahman pada tahun 691 H.

Kini Ada tiga buah Benteng peninggalan Hindu-Budha yang menyebar di Aceh Besar. Antara lain Benteng Indra Patra (Krueng Raya), Indra Purwa (Peukan Bada), dan Indra Puri (Indra Puri). Ketiga benteng tersebut kemudian menjadi simbol kuat pertahanan tentara kerajaan Aceh Masa lalu, lantaran posisi Benteng mebawahi beberapa mukim masing-masing yang kemudian dikenal dengan sebutan Aceh Lhe Sagoe. Cerita Aceh Lhe Sagoe memang tidak terkait kuat pada benteng, tetapi serpihan letaknya memang menggambarkan kekuatan tersebut.

Indra Patra

 

Benteng Indra Patra ini dibangun oleh Kerajaan Hindu pertama di Aceh (Indra Patra) pada masa sebelum kedatangan Islam ke Aceh,  yaitu kerajaan Lamuri pada abad ke tujuh Masehi. Benteng ini dibangun dengan posisi yang strategis karena langsung dihadapkan dengan Selat Malaka, sehingga berfungsi sebagai benteng pertahanan dari serangan armada Portugis. Armada Laut Sultan Iskandar Muda yang terkenal tangguh, dibawah pimpinan Laksamana Malahayati-- laksamana wanita pertama di dunia—benteng ini digunakan sebagai pertahanan kerajaan Aceh pada masa itu.

Benteng ini berukuran besar dan berkonstruksi kokoh, berarsitektur unik, terbuat dari beton sesuai pada masanya karena untuk mencapai bagian dalam benteng, harus dilalui dengan memanjat terlebih dahulu.kapur. Saat ini jumlah benteng yang tersisa hanya dua, itu pun pintu bentengnya telah hancur terkena tsunami. Pada awalnya ada tiga bagian besar benteng yang tersisa. Benteng yang paling besar berukuran 70 x 70 meter dengan ketinggian 3 meter lebih. Ada sebuah ruangan yang besar dan kokoh berukuran 35 x 35 meter dan tinggi 4 meter. Rancangan bangunannya terlihat begitu istimewa dan canggih, 

Indra Puri

Menurut riwayat sejarah, Indrapuri dulunya merupakan sebuah kerajaan yang didirikan masyarakat terdahulu di Aceh. Salah seorang adik perempuan putra Harsha dari India yang suaminya terbunuh dalam peperangan yang dilancarkan oleh bangsa Huna pada tahun 604 M melarikan diri. Setibanya di Aceh dari pelarian tersebut Putri kerajaan mendirikan sebuah kerajaan yang kini dikenal dengan sebutan Indrapuri. Hal tersebut diperkuat dengan fakta jika didekat Indrapuri terdapat perkampungan yang dulunya dihuni masyarakat beragama hindu yaitu di desa Tanoh Abei serta sejumlah kuburan Hindu di seputaran Indrapuri. Di kerajaan tersebut didirikan candi yang diberi nama dengan Indrapuri yang artinya 'Kuta Ratu'. Candi atau Masjid Indrapuri dulunya merupakan bagian dari tiga benteng yang berbentuk segitiga sebagai titik kekuatan tiga kerajaan Hindu terbesar. Kedua benteng lainnya adalah benteng Indrapatra di Ladong Kecamatan Mesjid Raya dan Benteng Indrapurwa di Lembadeuk Kecamatan Peukan Bada.

Seiring dengan perkembangan masuknya Islam ke Aceh, disusul dengan berubahnya kerajaan Lamuri menjadi kerajaan Islam, bangunan-bangunan candi menjadi terbengkalai. Pada akhirnya oleh kerajaan areal candi tersebut dialih fungsikan sebagai masjid. Kemudian pada masa kejayaan Sultan Iskandar Muda, di atas bekas candi tersebut kembali dipugar kembali menjadi masjid yang lebih megah dengan ukuran 18,8 m x 48,8 meter dan tinggi 11,65 meter.

Indra Purwa

IndraPurwa merupakan salah satu sejarah Aceh yang penting di desa Ujong Pancu. Indra Purwa didirikan pada masa kerajaan Hindu dan termasuk salah satu dari 3 Indra dalam trail Aceh lhee sagoe.

Banyak pihak sekarang ini yang sudah tidak menemukan lagi bekas-bekas benteng Indra Purwa ini, lantaran sudah tertutup laut, berbeda dengan benteng Indra Patra dan Indra Puri yang masih berdiri tegak. Situs kerajaan Indra Purwa di sekitar mesjid Indrapurwa dibangun kembali setelah dihantam gelombang tsunami.

Apabila berkiunjung ke Ujung Pancu barangkali, bekas-beklas dari benteng Indra Purwa ini tidak akan tampak, karena sebagian pondasinya telah di lapisi semen, sehingga bentuk aslinya tidak terlihat jelas. Selain itu, hanya sebagian pondasi bangunan yang masih utuh. Keadaan kerajaan Indra Purwa sangat memprihatinkan, karena tidak ada perawatan. Padahal Indra Purwa salah satu identitas Kerajaan Aceh baik sebelum atau sesudah masuk Islam.

Sisa puing kerajaan Indra Patra seperti kata masyarakat di sekitar lokasi, di daerah itu ada batu isan peninggalan abad 15 dan 16 bahkan jauh sebelumnya. Tetapi sayangnya, kawasan itu ditutupi pohon lebat dan rumput panjang, sehingga sulit menemukan batu nisan. Sebagian Batu nisan yang ada—kata warga itu-- sebagian dari batu nisan telah dimakan usia dan sebagian lagi tertimbun tanah sehingga bentuknya tidak sempurna lagi.

Aceh Lhee Sagoe

Sejarah Aceh Lhee Sagoe bukan hanya kata-kata perjalanan sejarah Aceh. Keberadaan tiga benteng  berubah-ubah fungsi setelah dikuasai oleh kerajaan Islam. Perubahan pertama oleh kerajaan ASceh dijadikan mesjid, selanjutnya berubah menjadi benteng pertahanan Aceh oleh pejuang-pejuang Aceh seperti di Indra Patra yang pernah menjadi pertahanan angkatan laut Aceh pimpinan Laksamana Keumalahayati—laksamana perempuan pertama di dunia.

Namun sebagian masyarakat mengatakan, kekuatan lhe sagoe itu adalah kekuatan strategi perang Aceh untuk menahan Belanda di kutaradja, namun sebagian lagi mengatakan sebagai pertahanan laut tentara Aceh. “Belanda terkepung di Kota Raja, dan membiarkannya menguasai kotaradja, tetapi Belanda tidak  bisa memperluas kekuasaan, karena pertahanan lhee Sagoe yang instensif,” kata masyarakat seputar lokasi Indra Puri.

Sejarah benteng Aceh Lhee Sagoe menjadi perhatian para sejarawan karena keberadaannya yang tidak mendapat perhatian dari pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten/kota. Padahal  benteng adalah situs sejarah yang mempunyai cerita sendiri lantaran dibelakangnya terdapat kisah perlawanan, pemberontakan, intrik dan heroism orang-orang di zamannya.

Sayangnya, ketiga benteng yang memiliki sejarah besar itu tidak mendsapat perhatian layak. Menurut Ketua Aceh Heritage Community (AHC), Yenni Rahmayanti mengutif dari situsnya mengatakan, renovasi yang dilakukan oleh Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Aceh melakukan renovasi benteng Indra Patra tidak sesuai dengan kaidah. Renovasi yang dilakukan sedikit banyak mengubah keasliannya. "Harusnya situs sejarah ini mendapat perhatian dari Balai Pelestarian Sejarah, tapi sepertinya tidak" ujarnya.

Memang jika kita perhatikan, sebagai contoh papan informasi penunjuk sejarah tidak ada di tempelkan. Ada juga hal lain yang menyedihkan terkait dengan keberadaan benteng. Banyak masyarakat sekitar mengambil batu-batuan benteng untuk keperluan membuat rumah bahkan ada yang mendirikan pondasi di atas reruntuhan benteng.

Untuk kepentuingan ‘lhe Sagoe’ sudSebagai masyarakat yang menghargah selayaknya pemerintah melakukan perbaikan dan menjaga sejarah itu sebagai bagian yang terpenting di Aceh, agar kelak generasinya dapat mengenali perjalanan sejarah yang berlangsung di Aceh, jangan sampai kelak generasi Aceh hanya menunjuk ke arah reruntuhan dan berseru "Itu batu apa?", bila itu terjadi bersiaplah sejarah Lhe Sagoe menjadi pusara diatas pusara.


Sumber:http://www.dmdiaceh.org/index.php/berita/sejarah/74-pusara-tua-di-pusara-lhee-sagoe


Benteng Indrapatra Banda Aceh

Benteng Indrapatra, sejarah yang terlupakan

BENTENG merupakan situs sejarah yang mempunyai cerita tersendiri. Di belakangnya ada kisah perlawanan, pemberontakan, dan heroisme orang-orang di zamannya. Demikian juga dengan Benteng Indra Patra yang terletak di Kecamatan Masjid Raya, sekitar 19 km dari Banda Aceh, menuju Pelabuhan Krueng Raya. Benteng ini masih tetap berdiri kokoh meski telah dihantam tsunami.

Sebagai sebuah situs bersejarah, Benteng Indra Patra perlu dijaga. Dari segi fisik, secara alami bangunan akan mengalami kerusakan digerus alam. Hujan, panas, Dinding mengelupas, batu pondasi berjatuhan satu persatu. Lama kelamaan bentuk aslinya tidak kelihatan lagi.

Dilihat Dari sisi sejarah, kisah-kisah seputar keberadaan benteng perlahan-lahan akan dilupakan orang. Bahkan orang-orang yang tinggal sekitar benteng pun belum tentu tahu asal muasal dinding besar di hadapan rumah mereka.

Benteng Indrapatra ini dibangun pada masa kerajaan Lamuri, yaitu sebuah kerajaan hindu pertama di Aceh. Tepatnya pada abad ke tujuh masehi. Benteng ini dibangun pada posisi yang sangat strategis karena berhadapan langsung dengan selat malaka. Disebabkan karena alasan keamanan serta pertahanan kerajaan tersebut.

Saat itu benteng Indrapatra ini dibangun dengan tujuan untuk membentengi serangan masyarakat Lamuri dari gempuran meriam-meriam yang berasal dari kapal- kapal perang Portugis. Di samping itu, benteng ini juga dipakai sebagai tempat beribadah umat Hindu yang berada di Aceh saat itu.

Peranan dan fungsi dari benteng Indrapatra berlangsung hingga masa islam tiba di Aceh. Pada masa kerajaan Sultan Iskandar Muda dengan laksamananya yang sangat dikenal dan segani yaitu Laksamana Malahayati (laksamana Wanita pertama Di dunia) benteng ini dipergunakan sebagai benteng pertahanan bagi kerajaan Aceh Darusssalam dari serangan musuh yang berasal dari laut.

Hingga saat ini hanya tertinggal dua benteng yang masih berdiri kokoh. Benteng utamanya berukuran 70 x 70m, ketinggiannya mencapai 4 meter, serta ketebalan dinding sampai 2 meter. Benteng indapatra memiliki arsitektur yang unik, terbuat dari beton kapur ( susunan berasal dari batu gunug, sebagai perekat berasal dari campuran kapur, tanah liat, dan alusan kulit kerang, serta alat perekat lainnya.

Dalam benteng utama terdapat dua buah “stupa” atau bangunan yang menyerupai kubah dimana di dalamnya terdapat sumur sebagai tempat air bersih yang digunakan oleh umat hindu untuk penyucian diri dalam rangka peribadahan. Di samping itu, di dalam benteng juga terdapat bunker sebagai tempat penyimpanan meriam, peluru, dan senjata.

Di setiap sisi dinding benteng terdapat 11 lubang yang digunakan sebagai tempat pengintai musuh. Sebagai masyarakat yang menghargai sejarah sudah selayaknya benteng Indra Patra dirawat dan dilestarikan. Serta agendakan benteng Indapatra sebagai wisata sejarah anda. Karena sejatinya beragam sejarah terdapat di Aceh.

- See more at: http://m.atjehpost.com/welcome/read/2013/03/04/42377/0/39/Benteng-Indrapatra-sejarah-yang-terlupakan#sthash.qleh0vVg.dpuf

Thursday, September 26, 2013

Jejak peradaban kota yang telah tenggelam selama 1.200 tahun diungkap.

KOMPAS.com — Jejak peradaban kota yang telah tenggelam selama 1.200 tahun diungkap. Sejumlah peninggalan arkeologis mulai dari kapal, patung, hingga koin ditemukan.

Kota yang tenggelam tersebut bernama Heracleion. Kota itu merupakan salah satu pusat perdagangan di wilayah tengah Mediterania sebelum akhirnya tenggelam. Kota berada di wilayah Bay of Aboukir, Mesir.

Heracleion ditemukan pada tahun 2001. Penggalian yang dilakukan selama bertahun-tahun mengungkap kehidupan kota tersebut.

Bulan lalu, para arkeolog bertemu di Universitas Oxford untuk membicarakan berbagai macam penemuan terkait Heracleion. Bagi para ilmuwan, menemukan jejak peradaban Heracleion seperti menemukan peradaban Atlantis yang kini masih teori.

Sejumlah jejak peradaban yang telah ditemukan di antaranya 64 kapal tua yang terpendam di dalam lumpur. Selain itu, ditemukan pula koin emas dan pemberat perunggu, bukti adanya perdagangan.

Patung raksasa setinggi 4 meter juga ditemukan dan berhasil diangkat. Sementara ilmuwan juga berhasil menemukan patung-patung lain yang lebih kecil. Ada pula sejumlah prasasti dari masa Mesir dan Yunani Kuno.

 

Secrets of the sea: Three divers inspect the ancient colossal statue of Hapi, the god of the Nile, at the site of the sunken city of Heraclion

Patung dewa Hopi, dewa Sungai Nil

Ancient: A sphinx from Heracleion has been brought up from its resting place in the Bay of Aboukir

Spinx dari kota Heracleion

Arkeolog juga menemukan sarkofagus. Diduga, sarkofagus menyimpan sejumlah hewan yang telah dimumifikasi. 

"Situs ini terawetkan dengan sangat baik. Kami sekarang mulai melihat beberapa hal lain yang menarik di dalamnya untuk mencoba memahami kehidupan di kota tersebut," kata Damian Robinson, Direktur Oxford Center for Maritime Archaeology.

"Kami mendapatkan lebih banyak gambaran perdagangan di sana dan kondisi perekonomian maritim di akhir masa Mesir Kuno," ungkap Robinson seperti dikutip The Telegraph, Minggu (28/4/2013).

"Kami menemukan ratusan patung dewa dan kami berupaya menemukan tempat di mana kuil tempat patung dewa itu berada. Kapal yang ditemukan juga menarik karena nerupakan temuan dengan jumlah terbesar di satu tempat serta kami juga telah menemukan 700 jangkar," papar Robinson.

Jantung kota Heracleion adalah kuil Amun-Gereb. Dari pusat kota itu, ada banyak jalan yang menghubungkan beragam wilayah di kota.

Heracleion tenggelam di kedalaman 450 meter. Ilmuwan belum mengetahui dengan pasti mengapa kota tenggelam. Diduga, sedimen di kota itu tak stabil sehingga membuat tanah kota turun dan akhirnya tenggelam.

Heracleion ditemukan kembali oleh arkeolog Franck Goddio pada tahun 2001. Ia melakukan penelitian untuk mencari kapal perang Perancis yang tenggelam pada abad 18.

Goddio mengungkapkan, penemuan Heraclion dan peradabannya menandani pentingnya wilayah muara Sungai Nil pada peradaban masa lampau. Menurutnya, penggalian masih harus dilakukan. Bisa butuh 200 tahun untuk benar-benar mengungkap kehidupan kota itu.

 

 

French Marine archaeologist Frank Goddio explains text on the stele of HeracleionThe statue of the Goddess Isis sits on display on a barge in an Alexandria naval base June 7, 2001

Frank Goddio dan salah satu batu prasasti yang ditemukan di Heracleion (kiri). Patung Isis, dewi bangsa Mesir (kanan).


Sumber:

http://sains.kompas.com/read/2013/04/29/0916147/Jejak.Peradaban.Kota.yang.Tenggelam.1.200.Tahun.Terungkap%23

 


Ghazni, Jejak Peradaban Iran di Afghanistan

Ghazni, Jejak Peradaban Iran di Afghanistan

 

Ghazni atau sering disebut juga Ġaznīn, terletak di wilayah timur Afghanistan. Kota yang berada sekitar 135 kilometer dari Kabul, ibu kota Afghanistan itu dipilih sebagai Kota Kebudayaan Islam untuk kawasan Asia di tahun 2013. Pada pertemuan Organisasi Budaya Islam (ISESCO) yang didukung oleh 50 negara anggota Organisasi Kerjasama Islam (OKI) ) di Tripoli, Libya, Ghazni ditetapkan sebagai Kota Kebudayaan Islam untuk kawasan Asia di tahun 2013.

 

Ghazni memiliki sejarah yang kaya dari segi budaya dan peradabannya. Selain kota ilmu pengetahuan, Ghazni juga pernah menjadi sebuah pusat perdagangan penting ke Asia Selatan selama periode Islam, dan mengalami masa keemasan yang cukup terkenal sebagai ibukota dinasti Ghaznavid.

 

Meskipun dinasti Ghaznavid merupakan orang Turki, namun dia menghadirkan para pemikir hingga penyair Iran di Ghazni yang merupakan pusat kekuasaannya. Di sekitar kota Ghaznin, terdapat makam para penyair dan ilmuwan Iran, seperti makam Abu Al-Rehan Muhammad bin Ahmad Al-Biruni (w. 1049 M / 440 H), seorang matematikawan dan astronom besar dan salah satu tokoh yang paling terkenal peradaban Islam.

 

Al-Biruni telah mendedikasikan karyanya "Al-Qanun al-Masoudi" untuk Sultan Mesud, putra Muhmud Ghazni, dan sebuah buku tentang batu permata ke Sultan Mawdud, putra Mesud. Ia juga menulis bukunya yang terkenal "Al-Athar Al-Baqiya Aani-Al-Qurun Khaliya."  Demikian pula, sejarawan Abu Al-Fadhl bin Muhammad Hussein Al-Baihaqi (w. 470 H) menulis sebuah buku dalam bahasa Persia, berjudul "Sejarah Al-Baihaqi," yang ia didedikasikan untuk Sultan Mesud dan ayahnya, Mahmud dari Ghazni.

 

Dahulu, Ghazni merupakan pusat kota Zabulistan dan kota-kota besar Khorasan di wilayah timur Iran. Ribuan sekolah berdiri dan para pemikir, sastrawan hingga penyair terkemuka berada di sana. Selain Biruni dan Baihaqi, ada Hakim Sinai, Unsuri, Manochehri, Masod Saad Salman dan berbagai tokoh lainnya.

 

Arthur Upham Pope (1881–1969), Iranolog dan sejarawan terkemuka mengatakan, "Capaian Iran-Islam di bidang seni dan budaya sangat besar dan melampaui batas geografis ketika ini. Contoh paling jelas berupa ikatan budaya  antaraIran dengan negara-negara Asia. Kawasan ini sejak dahulu kala memiliki ikatan budaya dan sejarah yang sangat erat. Pemahaman yang baik tentang ikatan erat di masa lalu ini akan membantu memberikan penjelasan mengenai kondisi kebudayaan di kawasan,".

 

Pope berkeyakinan bahwa kebudayaan Persia Islam melampaui wilayah geografis Iran saat ini dan menjangkau negara-negara tetangga Iran seperti Afghanistan. Salah satunya adalah seni dan budaya Iran di masjid-masjid kuno Afghanistan yang dibentuk berdasarkan prinsip arsitektur Iran-Islam. Kompleks madrasah Gauharshad di Herat dengan kubah, dinding bata dan keramik biru dan merah yang menawan memiliki kemiripan dengan masjid Gauharshad di Mashhad yang menunjukkan kehadiran budaya Iran di Afghanistan. Selain itu, karavansara di dekat Tashkurgan yang memiliki kemiripan dari sisi bentuknya dengan Karavansara Gaz di Iran. Bahkan para peneliti menyebutkan saking miripnya kedua Karavansara ini seolah-olah dirancang oleh seorang arsitek yang sama.

 

Kota Ghazni dikenal untuk arsitekturnya sebagai warisan bersejarah warisan kebudayaan Iran Islam di antaranya menara "An-Nasr" yang dibangun pada abad ke-12 (abad ke-6 AH), Makam Mahmud bin Sebuktegin Ghazni, dan masjid Mesud III dengan menara tua yang terkenal. Selain itu, dinding kuno Ghazni, dengan benteng bersejarahnya yang dibangun pada abad ke-13 M.

 

Reruntuhan kota kuno Ghazni di era Sultan Mahmud, masih berdiri di Ghazni hingga kini meskipun telah mengalami kerusakan. Satu-satunya reruntuhan di Ghazni kuno yang mempertahankan kemiripan bentuk arsitektur adalah dua menara, dengan tinggi sekitar 43 m (140 kaki) dan jarak 365 m (1.200 kaki). Menara itu dibangun di masa Mahmud Ghazni dan putranya. Selama lebih dari delapan abad monumen itu selamat dari perang dan invasi.

 

Dinasti Ghaznavid berupaya meneruskan jejak Samanid di bidang penyebaran ilmu pengetahuan dan budaya. Di era itu, para ilmuwan dan penyair terkemuka dari Iran berbondong-bondong datang ke Ghazni. Salah satu yang diundang ke Ghazni adalah penyair terbesar Persia, Hakim Abul Qasim Ferdowsi, dengan karya monumental "Shahnameh" (Epik para raja). Pada awalnya, Ferdowsi menghadiahkan buku itu kepada Mahmoud Ghaznavid. Namun karena tidak dihargai dengan layak akhirnya penyair terkemuka Persia itu membuat syair yang mengkritik penguasa Ghaznavid itu. Meskipun tidak mendapatkan penghargaan materi, tapi syair Ferdowsi hidup di tengah masyarakat dari dulu hingga kini.

 

Selain itu, terdapat deretan penyair Iran di era Ghaznavid seperti Farahi Sistani yang memuji penguasa. Nama lainnya, seperti Unsuri dan Kasai Mervazi yang membuat syair yang dihadiahkan bagi penguasa Ghaznavid.

 

Pernyataan Bombaci, profesor institut Oriental Universitas Nepal mengakhiri perjumpaan kita kali ini. Tentang seni dan warisan budaya Ghazni, Bombaci menuturkan, "Kemajuan seni di wilayah ini, meskipun di bawah kekuasaan dinasti Ghaznavid (abad 10-12 M), tapi memainkan peran dinanti Samanid dan sejumlah sumber lainnya yang mengabadikan warisan seni masa lalu. Tampaknya, kemajuan ini tidak terlalu berkaitan erat dengan seni pribumi di wilayah itu. Sejatinya hal ini membantu untuk menyiapkan menyebarkan sastra dan budaya Islam Iran di Asia dan Anak Benua India." (IRIB Indonesia)



Sumber:

http://indonesian.irib.ir/hidden-1/-/asset_publisher/m7UK/content/ghazni-jejak-peradaban-iran-di-afghanistan